Jumat, 06 Januari 2012


BABAD PASEK KAYU SELEM

Babad Pasek Kayuselem ini merupakan turunan Saudara Wayan Pasek yang sumbernya dipetik dari koleksi Gedong Kirthya di Singaraja dan pada kesempatan ini, ingin pula disampaikan bahwa untuk mengetahui isi suatu babad kita harus lebih berhati hati apabila kita ingin menarik suatu kesimpulan yang termuat di dalamnya Kita harus menyadari karena pada umumnya ceritera yang disampaikan di dalam babad banyak diselingi Ceritera ceritera lain yang kadang kadang membingungkan si pembaca, Uraiannya putus putus tidak berurut dan tidak jarang pula ceritera yang disisipkan agak menyimpang dengan judul babadnya. Oleh karena mengingat hal tersebut, pada bagian ini terketuk pula hati Penulis untuk menyampaikan isi pokok babad Pasek Kayuselem secara lebih sistimatis dengan harapan Semogä apa yang dapat penulis simpulkan kiranya lebih mempermudah dan dapat dijadikan pegangan apabila kita ingin menuturkannya kepada Masyarakat lainnya.
Sebagaimana halnya dengan babad babad lainnya pada bagian pembukaan babad ini diuraikan permohonan maaf sipenulis agar para leluhur, kawitan serta Ida Sanghyang Widhi Waça berkenan memaafkan serta nengampuni sipenulis atas keberaniannya menuturkan kembali Hyang Kawitan kepada masyarakat. Selanjutnya dijelaskan paduka Bhatara Hyang Pasupati amat prihatin melihat pulau Bali yang selalu saling terantuk dengan Selaparang (Lombok).Oleh karena itu untuk menghindari hal tersebut Bhatara Hyang Paçupati dengan segala kekuatannya membongkar sebahagian gunung Mahameru
di Jambudwipa untuk dipindahkan ke pulau Bali dan Selaparang sebagai penindih agar kedua pulau ini tidak mudah dihanyutkan serta terantuk oleh gelombang. Perpindahan gunung ini menyebabkan di Bali kita mengenal gunung Lokapala yaitu gunung Lempuyang , gunung Andakaça, gunung Watukau, gunung Beratan, gunung Mangu dan gunung Tulukbiyu. Setelah nusa Bali tenang dan tidak diombang ambingkan oleh gelombang, Bhatara Jagat Karana mengutuskan Bhatara Hyang Tiga yaitu, Bhatara Mahadewa, Bhatari Danuh serta Bhatara Ghnijaya turun ke Bali sebab pada saat itu pulau Bali .amat sunyi keadaannya. Berkat kesaktian beliau akhirnya Bhatara Hyang Tiga tiba dengan selamat dinusa Bali. Bhatari Danuh ditugaskan, bersemayam (aparhyangan) di Ulun Danu,.Bhatara Hyang Ghnijaya bersemayam di gunung Lempuyang sedangkan Bhatara Putrajaya bersemayam di Besakih.
Dijelaskan rula pada waktu Bhatara Putrajaya türun ke Bali beliau diiringi oleh Bhatarà lainnya antara lain Bhatarà Tumuwuh yang selanjutnya bersemayam di gunung Watukaru, Bhatara Manik Kumayang yang bersemayam di gunung Beratan, Bhatara Hyang Manik Galang bersemayam di Pejeng $erta Bhatara Tugu bersemayam di gunung Andakaça Bhatara Hyang Ghnijaya dan Bhatara Hyang Mahadewa tidak henti-hentinya melakukan yoga semadi demi ketentraman serta kesejahteraan pulau Bali. Berkat ke mahiran beliau beryoga dari semadi Bhatará Hyang Ghni jaya lahirlah anak laki-laki yang cakap dan sempurna yang pada waktu lahirnya’ semuanya beralaskan daun pisang kaikik. Adapun putra—putra beliau adalah Sang Brahmandá Pandita, Mpu Mahameru, Mpu Gana,Mpu Kuturan, dan Mpu Pradhah. Kemudian atas kehendak beliau mereka berlima diperintahkan ke Jambudwipa untuk memperdalam kesidhi ajnanan mereka masing-masing Ketika yoga mereka teláh masak Sang Brahmanda Pandita menikah dengan Bhatani Manik Gni, Putri Bhatara Hyang Mahadewa di Tolangkir dan berganti nama
menjadi Mpu Ghnijaya. Dan pernikahan beliau menurunkan Mpu Ktek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadharma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka yang kemudian dikenal dengap Pasek Sanak Pitu. Setelah beberapa lamanya dengan diiringi kedua adiknya yaitu Mpu Gana dan Mpu Kuturan. beliau menaiki daun kapu—kapu yang berlayarkan daun tehep kembali ke nusa Bali. Setibanya di Bali (di Silayukti) beliau langsung ke Besakih menghadap Bhetara Putra Jaya serta Ayahandanya Bhetara Ghnijaya di Gunung Lempuyang, serta Selanjutnya Mereka silih berganti ke Jawa dan ke Bali.
Pada waktu itu diceritakan pula Pulau Bali amat tenangnya, namun para Bhetara yang bersemayam di Bali masih merasakan adanya kekurangan sebab walaupun telah banyak dibangun tempat-tempat suci ( Khayangan ), Bali masih amat lengang karena tidak ada manusia hidup di Bali yang menyungsung dan menghormati para Bhetara. Itulah sebabnya Bhetara Ghnijaya dan Bhetara Catur Purusha sepakat menghadap Bhetara Hyang Pasupati ke Jambu Dwipa untuk mengutarakan maksudnya. Oleh Bhetara Hyang Pasupati maksud diatas dipenuhi dan untuk ini Beliau disarankan menunggu di Besakih saja. Bhetara Hyang Pasupati ( Pramesti Guru ) dengan diiringi oleh para Dewata semua,
Rsi Gana, Dewa Sanga serta seluruh yang ada di Sorga beramai-ramai turun ke Bali. Dalam perjalanan Beliau Bhatara Parameswara ( pasupati ) mengendarai Padma Manik Anglayang diapit Payung serta umbul-umbul. Sedangkan para Dewata lainnya mengndarai Wahana mereka masing-masing. Bergema suara gentanya serta bergemuruh suara diangkasa diiringi Keplug dan sebagainya. Setibanya di Tolangkir beliau dsambut oleh Bhetara Putra Jaya, Betara Ghnijaya serta Bhetara Catur Purusha sesuai dengan
Penyambutan dan penghormatan yang berlaku lalu langsung menuju Tampurhyang. Kemudian Bhetara Pramestiguru bersabda : : “anakku Deata Semua sekarang siapkanlah segala keperluan agar segera tercipta Manusia yang kalian kehendaki, Kamu Hyang Iswara hendaknya menyusup di Otot, Hyang Mahadewa di Sumsum, Hyang Wisnu di Daging dan kamu Sangkara serta Rudra pada Pabwahan (Ginjal)”.
Ketika semua telah siap menghadap Perasapan (Kundagni), tiba tiba datanglah Bhetara Yamadipati berwujud seekor anjing hitam hendak menghalangi maksud Bhetara Pramesti guru yang dengan angkuhnya Anjing Jelamaan Bhetara Yamadipati berkata : “Hai Paduka Bhetara Pramesti Guru sekarang Paduka hendak menciptakan manusia dari tanah, Mustahil maksud tersebut akan terlaksana, Andaikata benar tercipta manusia, hamba sanggup makan kotorannya, Mendengar ucapan ini dengan murkanya lalu Bhatara Pramesti Guru menjawab : “Hai Yamadipati yang angkuh apa katamu ? Besar amat kesanggupanmu terhadapku, Yah andaikata maksudku tidak terlaksana, aku bukanlah dewa dan seluruh dewa—dewa, Patutlah diriku ditenggelamkan ke dalam kotoran”. Bhatara Pramesti Guru kemudian beryoga.. Api perasapan berkobar, asapnya keluar lalu terwujudlah muka manusia, Tetapi tiba—tiba penjelmaan manusia itu patah, diiringi dengan suara gonggongan sang anjing.... kong kong kong karena kegirangan. Bhatara mengulangi yoganya, Untuk kedua kalinya manusia ciptaan beliau patah, Sang anjing amat bergembiranya serta menggong—gong suaranya kong kong kong, Bhatara tidak putus asa dan mengulangi yoganya, Untuk ketiga kalinya Bhatara Pramesti Guru gagalmenciptakan manusia, disertai gonggongan sang anjing king... King... Sampai lima kali Bhatara beryoga selalu mengalami kegagalan, Akhirnya beliau merasa berang dikalahkan dan diejek o1eh anjing. Dengan segala kesaktiannya beliau menyatukan tiga dunia (Triloka). Api perasapan kembali berkobar, dunia bergoncang, keluarlah amerta disertai terjelmanya manusia ciptaannya. Ketika itu tercenganglah sang anjing terkejut menyaksikan manu sia ciptaan Bhatara. Bhatara Hyang Pramesti Guru : “Sekarang kalahlah kamu, hai anjing. Ingat mulai sekarang anjing harus memakan kotoran manusia”. Amatlah malunya Bhatara Yamadipati mendengar kutukan tersebut dan tanpa memberikan jawaban, menangis serta menyesal atas perbuatannya lalu pergi ke Yamadiloka. Di Yamadiloka ia mengumpulkan seluruh cikrabala terutama si Bhuta Kalika serta pàra Kingkara bala Lainnya dan berkata :“Hai para balaku semua aku
perintahkan kamu agar turun ke madyaloka untuk menggantikan diriku memakan kotoran manusia mulai sekarang sampai seterusnya sebab aku kalah hertaruh dengan Bhatara Acintya, Itulah sebabnya aku memerintahkan kepadamu menggantikan diriku menjadi anjing di madyaloka”. Tetapi petuahku kepadamu, kelak apabila sudah saatnya manusia itu mati, disanalah kita bersama-sama menyiksa roh manusia yang berlaksana tidak pantas selama hidupnya di madyaloka. Itulah asal mula nya mengapa anjing memakan kotoran manusia. Selama Bhatara Hyang Pramesti Guru di Tampurhyang beliau juga menciptakan manusia dari serabut ( toktokan) kelapa gading sehingga terjelma dua orang manusia laki
perempuan yaitu Ki Ketok Pita dan I Jenar. Oleb karena keduanya buncing ,mereka dikawinkan dan menurunkan keturunannya.
Tidak hanya sampai di sini saja,Bhatara Pramesti Guru dengan yoga semadinya berusaha menciptakan manusia lainnya. Dan payogan beliau ini lahirlah dua orang manusia 1aki perempuan pula yaitu Ki Abang dan I Barak. Keduanya bersuami istri dan pindah, menetap di tepi danau yang sekarang disebut desa Abang. Ciptaan manusia yang berasal dari sumber yang berbeda beda ini melahirkan keturunannya dan menambah banyaknya manusia di Bali, namun biji mata mereka semuanya hitam tanpa ada putihnya. Mengingat makin banyaknya manusia diBali tetapi masih awam dan tidak dapat melakukan
pekerjaan se patutnya, Bhatara Hyang Pramesti Guru mengutus para dewä lainnya untuk mengajarkan manusia membuat alat alat dan bercocok tanam. Hutan di Tampurhyang dibakar dan ditebang dijadikan ladang agar dapat ditanami oleh manusia. Bhatara Indra diutus mengajarkan manusia mesesanggingan (ukir mengukir). Bhagawan Wismakarma mengajar ngundaginin (membuat bangunan) dan sebagainya.
Hubungan para Bhatara dengan manusia sangat eratnya. Mereka dapat bercakap dan saling melihat Sebagaimana kita melihat teman lainnya. Namun hubungan ini tidaklah terlaksana abadi sebab suatu godaan tiba tiba muncul saat itu. Diceriterakan bahwa sebagaimana biasanya para Bhatara sering berjalan jalan di Tampurhyang melihat dan mengawasi orang—orang desa dalam melaksanakan kewajibannya. Tidak jarang pula mereka be cakap—cakap dengan intimnya membicarakan situasi disekitarnya. Pada suatu senja Bhatara berkehendak pulaberjalan—jalan melihat tanam—tanaman yang dikerjakan manusia. Ditengah jalan beiiau bertemu dengan manusia. Manusia itu menyapa dengan hormatnya sambil buang air dan menanyakan hendak kemana paduka Bhatara di sore hari. Kebetulan pada waktu itu si Balwan (Bunglon ) melihat peristiwa ini. Dengan marah dan angkuhnya si Balwan berkata : “Hai kamu manusia, sungguh kamu tidak senonoh, amat durhakamu, Benar—benar kamu tidak mengenal budi pekerti, Dimana kamu menemukan aturan yang menjelaskan bahwa kamu boleh menyapa Bhatara sambil buang
air ? Pantaslah kamu manusia herasal dari tanah dikepal kepal”, Manusia itupun menjawab : “Ih kamu Balwan apa katamu ? mengungkap_ ungkap asal usulku, benar— benar kamu tidak tahu adat (nirgama), berpura—pura akhli dan taat kepada tata susila, Pantaslah asal usulmu kumatap—kumitip yang diselimuti oleh kotoran, Dasar kamu ini, berpura—ura alim, mengapa kamu keberatan sedangkan Bhatara sendiri tidak merasa tersinggung”. Si Balwanpun menjawab : “Hai kamu manusia yang dungu, moga—moga kamu menjadi hina dina, Semoga kamu menjadi orang dusun untuk seterusnya atas
dosamu menyapa dewa, Amatlah dengkinya si Balwan seraya berkata kepada Bhatara dan mengasutnya, Bhatara lalu memanggil seluruh manusia yang ada dan setelah berada dihadapannya, mereka dipérintahkan mendelikkan matanya sambil memandang Bhatara. Mata mereka dicoret dengan kapur disertai kutukan : “Semoga hai kamu manusia, karena kamu bertindak yang tidak pantas kepadaku muiai saat ini kau tidak akan dapat melihat para dewata sampai seterusnya, atas dosamu menyapaku sambil buang air, Sapaku ini berlaku pula kepada keturunanmu, seandainya engkau ingin bertemu denganku, pada saat kematianmulah akan dapat meiihatku”. Demikianlah sapa Bhatara kepada manusia. Mereka menyembah kehadapan Hyang Bhatara yang tak henti—hentinya menyesali perbuatannya. Itulah sebabnya mengapa manusia di dunia tidak dapat melihat para dewata lagi. Diceriterakan bahwa ketika mereka kembali ke gubuknya di tengah jalan mereka bertemu dengan si Balwan, Terjadilah perdebatan antara si Balwan dengan manusia, Mereka berseru : “Berbahagialah aku bertemu denganmu di sini, Sekarang aku akan menyampaikan kepadamu bahwa mulai saat ini sampai seterusnya aku akan menjadi
musuhmu dan setiap keturunanku bertemu dengan keturunanmu mereka akan membunuh keturunanmu, Si Balwan lalu menjawab : “Hai manusia aku tidak akan menolak permintaanmu, Baiklah kalau demikian, tetapi ada permintaanku kepadamu yaitu apabila keturunanku bertemu dengan keturunananmu pada waktu kajeng kliwon, keturunanku akan membunuh keturunanmu dengan menjilat badan serta mata kakinya” Baiklah kalau demikian mulai sekarang beritahukanlah seluruh keturunanmu agar mereka tetap waspada terhadap perjanjian ini, Itulah sebabnya si Balwan dapat merubah diri sesuai dengan keadaan disekitarnya lebih—lebih apabila berada di daun kayu.
Pada salah satu bagian babad ini dijelaskan pula asal mula timbulnya pungkusan keturunan Tewel yang diuraikan sebagai penuturan di bawah ini. Seperti halnya para dewa—dewa lainnya Bhatara çiwa diutus oleh Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk menuntun dan memberikan pelajaran kepada orang—orang yang ada di Bali, membuat bale papayon agar dapat ditiru ôleh orang—orang Baliaga. Dalam perjalanannya beliau menjumpai tuwed nangka sisa—sisa hutan yang terbakar waktu membuat lading, Melihat tuwed nangka ini lalu terbitlah keinginan beliau untuk memperbaik i dan memperhaluskannya sehingga berbentuk manusia, Bhatara çiwa dengan dibantu oleh Hyang Semara, beryoga dan menjelmakan manusia laki perempuan Sejumlah 1l9 orang. Mereka berpasang—pasangan dan menikah dengan saudaranya, Karena jumlah 119 salah seorang wanita diantaranya tidak mendapatkan jodoh dan tidak mau dimadu oleh saudaranya, Dengan perasaan kesal dan sedih berjalanlah ia tanpa tujuan Sehingga
akhirnya sampai di tempat tuwed nangka yang diperhalus oleh Bhatara çiwa, Wanita ini merasa tertarik / jatub cinta kepada togog nangka dan sambil dielus—elusnya iapun berkata “Wahai arca penjelmaan Mona, benar—benar terkesan dihati hamba, Yah Seandainya tuanku (togog), menjadi manusia, hamba akan sanggup dan bersedia menghamba, Suka duka hamba akan selalu mendampingi serta memenuhi segala kehendak tuanku. Demikian ucapan wanita itu seraya mengurut togog tuwed nangka
sehingga karena seolah—olah telah berhubungan dengannya keluarlah spermanya. Atas kehendak Hyang Bhatara akhirnya perempuan itupun hamil Namun ia tidak henti hentinya berujar bermohon kepada Bhatara agar apa yang dicita—citakan terlaksana.
Selanjutnya datanglah Bhatära Brahma disertai Bhatara Semara seraya berkata “Hai kamu perempuan Baliaga dusun, apa kehendakmu sekarang ? Hendak bersuami dengan togog ? Perempuan itupun menjawab sambil menyembah “Wahai paduka Bhatara, hamba menyadari tetapi oleh karena besar kasih sayang hamba kepada tawulan ini, andaikata berkenan dihati Bhatara alangkah berbahagia perasaan hamba seandainya paduka Bhatara dapat menjelmakan tawulan ini menjadi manusia agar dapat hamba jadikan suami sampai seterusnya”. Bhatarapun menjawab “Hai kamu manusja andaikata demikian kehendakmu baiklah akan aku laksanakan segalanya”. Kemudian Bhatarapun beryoga sehingga tidak
lama akhirnya tawuluan itu menjelma menjadi seorang pria yang amat tampan. Tidak terkatakan betapa gembiranya wanita dusun Baliaga itu, sebagai tidak di dunia perasaannya. Segera penjelmaan itu diayunnya, dipangku, dirangkul, dielus— elus karena suka citanya sehingga hampir saja keluar sanghyang tiga smaraturanya (sperma), Tercenganglah Bhatara melihat tingkah ]aku perempuan itu dan berkata : “Hai kamu manusia, amatlah tidak senonohmu, Sekarang terimalah kutukanku atas dosamu yang
tidak tahu diri tidak sabar berkasih kasihan serta mengelus elus dihadapanku, Sedikitpun kamu tidak mengenal malu dan tidak mempunyai perasaan takut Semogalah kamu hai manusia selalu bertengkar, tidak serasi dalam keluargamu karena kawin dengan tuwed, Kelak apabila kandungan ini lahir semoga melahirkan gumatap—gumitip sejumlah 175 dan berbalik menjadi musuh manusia di dunia, Selanjutnya apabila kamu kembali melahirkan anak dengan si Tawulan dimanapun mereka berada agar bernama Ki
Mangatewel sebab leluhurmu berasal dari kayu tuwed nangka.
Pada bahagian lain babad Pasek Kayuselem diselingi ceritra bertahtanya seorang raja bernama Detya Karna pati dengan abiseka çri Jayapangus yang berkeraton di Balingkang. Selama beliau memegang tampuk pemerintahan, Bali amat aman, tenteram dan segala usahanya selalu ber hasil, Sebaliknya ketika çri Jayapangus wafat, Bali kembali menjadi
lengang sebab tidak ada raja yang membimbing penduduk Bali. Menyadari hal ini
Bhatara Putra jaya, Bhatara Ghnijaya serta Hyang Catur Purusa bersama sama pergi ke
Jambudwipa menghadap Bhatara Hyang Pramesti Guru untuk memohon, agar ada raja
yang memerintah di Bali. Permohonan beliau dipenuhi dan sesuai dengan hasil
pertemuan para dewa, diputuskan Mayadanawa turun ke Bali untuk memegang tampuk
pemerintahan, Mayadanawa adalah anak Bhagawan Kasyapa yang kawin dengan Dyah
Wyapara, Dari perkawinan ini lahir Mayadanawa yang menikah dengan Dewi Malini
putri dan Hyang Anantabhoga dan beribu-kan Ni Dewi Danuka. Mayadanawa selama
memerintah di Bedahulu didampingi seorang patih yang amat terkenal bernama Kala
Wong dan pusat pemerintahannya terletak di Batànar ( Pejeng). Pada awal pemerintahan
Mayadanawa pulau Bali tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan çri Jaya pangus
yang berkeraton di Balingkang. Namun hal ini tidaklah dapat berlangsung lama sebab
sifat loba,tamak angkara murka serta “Nyapa kadi aku” makin menyelubungi hatinya.
Prabu Mayadanawa tidak ingat akan dirinya sebagai seorang raja yang harus mengayomi
dan melindungi seluruh rakyat, Mayadanawa tidak ingat akan kebesaran Tuhan yang
telah menjadikannya, Bahkan dengan tegas Mayadanawa menghalangi dan melarang
rakyat menghaturkan sembah dan pemujaan Ida Sanghyang Widhi Waça. Rakyat Bali
tidak diperkenankan sujud kehadapanNya sebab Maya danawa berpendapat, tidak ada
yang lebih kuasa, kuat dan berpengaruh selain dirinya, Oleh karena itu tidaklah ada
gunanya menghaturkan sajian kepada Ida Sang hyang Widhi Waça kecuali kepada
dirinya. Tindakan di atas amat merisaukan para dewata sebab sejak saat itu rakyat Bali
tidak ada yang berani menghaturkan sembah dan bakti kepadaNya. Mereka takut
melakukannya, khawatir serta cemas dikenakan hukuman ataupun siksaan oleh
Mayadanawa, Kegelisahan para dewata makin tidak dapat dibendung lagi, Akhirnya para
Bhatara dan dewata di Tolangkir menghadap Hyang Pra mesti Guru, memohon agar
Prabu Maya danawa yang mencemaskan penduduk Bali dimusnahkan dari madyaloka.
Hyang Pramesti Guru memerintahkan para dewata para resi dan tidak ketinggalan
Bhatara Indra agar turun ke Bali untuk melenyapkan raja Mayadanawa, Se tibanya di Bali
terjadilah pertempuran yang dasyat antara bala tentara Mayadanawa dengan para dewata,
Korban diantara kedua belah pihak berjatuhan dan pertempuran tetap berkobar dengan
sengitnya, Bala tentara Mayadanawa terdesak, tidak kuat melawan serangan para dewata
yang dipimpin Bhatara Indra, Mayadanawa dan Patih Kala Wong melarikan diri tetapi
walaupun menyamar menjadi berbagai bentuk, penyamarannya tetap diketahui Bhatara
Indra. - Mula—mula Mayadanawa menjelma menjadi pohon timbul, kemudian lari ke
sorga menjadi seorang bidadari tetapi diketahui juga dan tak henti—hentinya dikejar
Bhatara Indra. Perlu kami sampaikan bahwa pada Usana Bali dijelaskan banyak nama—
nama desa yang dihubungkan dengan penjelmaan Mayadanawa dalam menyelamatkan
dirinya dari kejaran Bhatara Indra. Misalnya tempat Mayadanawa menjelma menjadi
busung (daun kelapamuda),disebut desa Belusung, Tempat Mayadanawa menyamar
menjadi pusuh ( jantung pisang) disebut desa Paburwan, tempat Maya danawa menyamar
menjadi batu besar sekarang disebut desa Sebatu, Menjadi manuk (burung) disebut desa
Manukaya Tempat Mayadanawa menyamar menjadi padi disebut desa Tampaksiring dan
terakhir sampailah ia pada suatu tempat dan menjelma menjadi padas (paras), Pada
penjelmaan inilah akhirnya Mayadanawa dipanah oleh Bhatara, Indra sehingga menemui
ajalnya, Tempat terbunuhnya Mayadanawa dan Patih Kala Wong kini dikenal dengan
nama desa Toya Dapdap dan Pangkung Petas. Sedangkan darah Mayadanawa yang terus
mengalir menjelma menjadi sungai yang sekarang dikenal dengan nama sungai Petanu.
Tersebutlah setelah Prabu Mayadanawa meninggal, arwahnya dapat kembali ke sorga
sebab walaupun Maya— danawa telah berbuat jahat dan melarang orang—orang
menghaturkan sembah kehadapan Sanghyang Widhi Waça pada waktu beliau di
Madyaloka namun tetap dianggap sebagai seorang kesatria (puruseng rana) yang rela
berkorban di medan pertempuran. Dewi Malini amat sedih ditinggalkan suaminya
(Mayadanawa), Ia merasa ini sebab arwah suaminya dapat menetap di sorga dengan
tenangnya, Itulah sebabnya Dewi Malini pergi ke Sapta Petala menghadap ibundanya
Dewi Danuka, Mendengar pengaduan putrinya, Dewi Danuka tidak dapat memecahkan permasalahan tersebut dan mereka berdua pergi menghadap Dewi Wyapara, Dewi
Wyaparapun tidak dapat mengatasi persoalan di atas. Akhirnya mereka berdua(Dewi
Wyapara dan Dewi Danuka) pergi ke Indraloka menghadap Bhatara ,Indra serta
memohon agar Mayadanawa dapat kembali menjelma menjadi raja di Bali. Oleh Bhatara
Indra permohonan mereka dikabulkan tetapi dengan persyaratan bahwa sebelum
Mayadanawa menjelma Ia harus beryoga semadi untuk melenyapkan segala dosa yang
pernah dibuatnya. Ketika yoganya selesai dan segala dosa—dosanya lenyap Mayadanawa
diperintahkan menjelma menjadi raja di pulau Bali. Penjelmaan beliau buncing (kembar
laki perempuan) dan berabiseka çri Aji Masula Masuli.
Sejak saat kelahiran çri Aji Màsula Masuli, Bhatara Indra memberitahukan kepada
seluruh penduduk Bali bahwa mereka tidak diperkenankan kawin dengan saudara
kandungnya. Mereka tidak diperkenankan meniru (amada—mada) çri Aji Masula Masuli
yang kawin dengan saudara kandungnya. Ditegaskan bahwa andaikata diantara mereka
ada yang melanggar, mereka harus dibuang ke laut sebab dianggap mencemarkan negara
(angletuhin gumi). Lebih—lebih apabila ada penduduk yang melahirkan anak laki
perempuan (kembar buncing) seperti ke lahiran Dalem çri Aji Masula Masuli, mereka
harus disingkirkan dan bertempat tinggal di dekat kuburan Selama 42 hari, serta untuk
mengembalikan kesucian desa penduduk harus melaksanakan upakara pamalik sumpah,
anyapuh untuk melenyapkan kekotoran (keletehan) desa.
Lebih jauh diceriterakan bahwa dari çri Aji Masula Masuli ini lahirlah seorang putra yang
tampan serta ahli menjalarkan weda mantra. ,Putra beliau bernama Tapolung (Tapaulung)
yang kemudian menggantikan ayahnda-nya menjadi raja di Bali dengan didampingi dua
otang patihrya yaitu Pasunggrigis dan Kebo Iwa, Selama pemerintahan raja Tapolung
pulau Bali tetap aman Seperti pada masa pemerintahan Sri Aji Masula Masuli.
Selanjutnya pada bagian akhir babad mi dijelaskan bahwa Bhatara Putrajaya
memerintahkan agar :
a. Mpu Ghnijaya beryoga di gunung Lempuyang bersama—sama Bhatara Kamimitan
yaitu Bhatara Ghnijaya.

b. Mpu Semeru beryoga di Besakih bersama— sama Bhatara Putrajaya.

c. Bhatara Ghana beryoga di Dasar Bhuwana.

d. Mpu Kuturan beryoga di silayukti.

e. Mpu Bradah ke Jawa dan ke Bali (angajawa dan angabali).

Mpu Ghnijaya menurunkan Sanak Pitu. Mpu Sumeru menurunkan Mpu Kamareka dan
Mpu Ghana menurunkan Mpu Galuh.
Setelah kita mengikuti beberapa garis besar isi babad Pasek Kayuselem yang merupakan
uraian pelengkap babad ini, baiklah pada bagian ini kita mengalihkan pikiran untuk
membicarakan bagaimana asal usul terjadinya Warga Pasek Kayuselem sesuai dengan
babad yang kami pakai dasar penyusunan tulisan ini.
Tersebutlah pada waktu para dewata merabas dan membakar hutan di gunung
Tampurhyang sebuah pohon asam( tuwed) tidak habis terbakar oleh api, Tuwed asam
yang masih tersisa ini kelihatan sebagai orang yang sedang bersemadi (ngranasika).
Penduduk Bali makin bertambah mengingat sudah banyaknya manusia di Bali. Bhatara
Brahma diperintahkan oleh Hyang Pramesti Guru turun ke Bali untuk menciptakan
manusia agar kelak ada keturunan Bhujangga di Bali. Ketika beliau sampai di
Tampurhyang dijumpainya tuwed asam tersebut. Beliau amat tertarik melihat dan
berkehendak memperbaikinya. Kemudian Hyang Brahma mengundang Bhagawan
Wismakarma untuk memperbaiki dan memperhalus tuwed asam itu agar benar—benar
menyerupai bentuk manusia. Untuk memenuhi maksud di atas serta agar beliau tidak
dikenal oleh orang—orang Baliaga. Bhagawan Wismakarma menyamar menjadi seorang
petani dusun, berbaju kotor dan bertopikan sebuah kuskusan datang ke tempat tuwed
asam bekas pembakaran hutan di Tampurhyahg. Tuwed tersebut diperbaiki dengan
saksama sehingga benar benar berbentuk wujud manusia yang tampan.
Sebelum Bhagawan Wismakarma meninggalkan Tampurhyang beliau tidak lupa
memberikan petunjuk kepada wong Baliàga, bagaimana cara membuat bangunan
(ngundaginin) agar dapat dikembangkan dan diterapkan pada masa mendatang. Atas
perintah Hyang Pramesti Guru, Bhatara Indra ditugaskan mengajar wong Baliaga agar
mereka dapat mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan ukir mengukir
(sangging). Selama Bhatara Indra berada di Tampurhyang beliau tidak lupa
menyempurnakan togog celagi yang telah diperhalus sebelumnya oleh Bhagawan
Wismakarma. Demikian pula agar penduduk Baliaga mengenal perdagangan, Bhatara
Hyang Pramesti Guru mengutus para Bidadari menyamar menjadi penjual keris serta kain
agar dapat ditiru oleh wong Baliaga. Pada kesempatan ini para bidadari pergi ke tempat
togog tuwed celagi dan mengenakan kain, destar,sampir, ikat pinggang serta menyisipkan
sebuah keris di pundaknya. Keindahan togog makin bertambah serta orang—orang Bali aga tidak bosan—bosan menikmatinya. Siang malam mereka berbondong-bondong melihat sehingga tak ubahnya
Seperti Sang Kresna di Dwarawati sedang dihadap para menteri dan rakyatnya.
Kewibawaan togog makin cemerlang, sehingga banyak diantara mereka yang kagum dan
tercengang menyaksikan. Bahkan banyak pula diantara nEreka mengeluarkan ucapan
bahwa apabila tögog tersebut benar benar berwujud seorang manusia mereka akan
sanggup menghamba selama hidupnya.
*** Diceriterakan Mpu Mahameru turun ke Bali hendak menghadap Bhatara Putrajaya di
Tolangkir dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang. Dalam perjalanannya menuju desa
Kuntugladi beliau beristirahat sejenak di Tampurhyang. Di tempat itu Mpu Mahameru
melihat air yang jernih Se hingga timbul hasrat beliau untuk mencuci muka. Ketika beliau
mencuci muka terlihat olehnya tuwed clagi yang amat tampan dan berwibawa sedang
dikerumuni oleh orang orang Baliaga. Terketuk hati beliau untuk menjelmakan togog
tersebut menjadi seorang manusia. Mpu Mahameru beryoga dan dengan segala
keahliannya dan terjelmalah togog itu menjadi seorang manusia. Tiba—tiba manusia
penjelmaan togog (Kayureka) menjadi amat tercengang serta keheran heranan sebab tidak mengetahui apa yang harus ia perbuat, seraya menghaturkan sembah dihadapan Sira Mpu
ia pun bertanya : “Wahai Paduka Sang Mahamuni, siapakah yang telah menaruh belas
kasihan kepada hamba sehingga hamba benar—benar menjelma menjadi seorang
manusia ?“. Mpu Mabameru menjawab : “Hai Kayureka akulah yang menjelmakanmu
menjadi manusia”. Kayukreka menyembah dan memeluk kaki beliau seraya bertanya :
“Siapakah sebenarnya paduka yang masih kasihan kepada hamba ?“ Mpu Mahameru
menjelaskan bahwa beliau adalah putra Bhatara Ghnijaya yang bersemayam di
Adrikarang (Lempuyang). Mendengar penjelasan itu Kayureka berkata “Wahai Mpu ngku junjungan hamba, hamba merasakan seolah—olah mendapatkan amerta dari paduka. Apakah yang harus hamba
pergunakan membayar hutang hamba kehadapan paduka yang tak ubahnya sebagai bumi
dan akasa ini ?. Sekarang tuluskanlah belas kasihan paduka kepada hamba agar segala
dosa—dosa yang ada pada diri hamba menjadi bersih seterusnya. Demikian juga apabila
paduka berkenan hamba memohon agar hamba bisa jüga kiranya mengikuti jejak Sang
Mahameru”. Mpu Mahameru menjawab : “Tidak boleh aku menganugrahkan Sanghyang
Aji kepadamu sebab engkau bukanlah berasal dari manusia, Tidak sepatutnyalah
Sanghyang Aji dianugrahkan kepadamu”. Mendengar jawaban itu Kayureka menangis,
menyesali nasib nya yang malang serta berkata : “Wahai paduka Bhatara, seandainya
paduka tidak ada belas kasihan kepada hamba, menganugrahkan Sanghyang Aji, baiklah
kembalikan dirihamba kepada wujud semula yaitu berupa tuwed, Apakah gunanya hamba
menjadi manusia tidak mengetahui tata laksana dan selalu akan dijadikan tertawaan orang
?“. Mpu Mahameru tertegun mendengar ucapan Kayureka Tiba tiba terdengar suara dari
angkasa : “Anakku Sang Mpu, janganlah demikian, boleh juga anakku menganugrahkan
Sanghyang Aji kepadanya sebab anakku jugalah yang menjelmakan Kayureka nenjadi
manusia, Janganlah khawatir aku memperkenankan Sanghyang Aji diajarkan kepada—
nya”. Mpu Mahameru berpikir dan berkata : “Wahai Kayu reka, benarlah kamu ini
seorang dewata yang berganti rupa menjadi sebuah togog, Pantaslah kamu menjadi Wong
lawu, Sekarang marilah mendekat képadaku, aku akan menganugrahimu”. Kayurékapun
mendekat dan menunduk di hadapan Sang Adiguru. Sabda Sang Mahajati “Hai Kayu
reka, dengarkanlah petuahku baik—baik dan janganlah engkau mengumbar—ambirkan
serta meremehkannya, karena Sanghyang Aji yang akan aku anugrahkan amat keramat.
Terimalah anugrahku semoga kamu dapat meresapkan ke dalam batinmu dan karena tidak
adanya Bhujangga di Bali, mulai sekarang engkau diperkenankan menjadi Bhujangga
(mujanggain) orang—orang Baliaga semuanya Janganlah lupa memberitahukan
keturunanmu agar mereka selalu mengingat asal usulnya. Begitu pula kelak apa— bila
lahir keturunan dari kakakku Mpu Ghnijaya, keturunanmu harus menghormat dan
menyembahhya, Tetapi keturunanku tidak boleh menyembah keturunanmu sebab kamu
aguru putra denganku lagi pula penjelmaanmu berbeda dengan kelahiranku. Ingatlah
jangan lupa, amat’ berbahaya apabila engkau tidak mentaati petuahku, Ada pun anakku
Kayureka oleh karena engkau sudah apodgala (dibaptis) mulai sekarang engkau bernama
Mpu Bendesa Dryakah sebab engkau berasal dan tuwed pada mulanya. Engkau
diperkenankan melaksanakan upakara kematian( pralina ngentas) tetapi yang boleh kamu
selesaikan upakaranya hanyalah orang—orang Baliaga saja, Anakku Mpu Dryakah kelak
apabila engkau sudah meninggal dan diupakarai oleh anak cucumu, upakaranya tidak
boleh diselesaikan oleh Brahmana. Kamu cukup memohon di kawitanmu (kahyanganta)
sebab asal usulmu bukanlah dari manusia. Apabila anak cucumu telah selesai

mengupakarai jasadmu, engkau diperkenankan melakukan pitra yadnya sebanyak tiga
turunan, dan setelah tiga turunan barulah sang resi Siwa Bhudha diperkenankan
menyelesaikan (muputang) upakaranya. Ingat dan beritahukanlah petuah—petuahku ini
kepada seluruh keturunanmu karena amat berbahaya apabila kena kutukanku’.
Demikianlah sabda Mpu Mahameru kepada sisyanya disertai sembah sujud Mpu Dryakah
dihadapannya. Disamping itu Mpu Mahameru memperingatkan kepada orang Baliaga bahwa kelak
apabila diantara mereka ada yang hendak melaksanakan upakara pitrayadnya, mereka
diperkenankan membakar jasad, (mabya geseng ) dan setelah dibakar diperkenankan
menanam kembali. Itulah yang disebut wangsa Krama Tambus yang penyelesaian
upakaranya dilaksanakan oleh Mpu Dryakah. Sebagai kelanjutannya mereka
diperkenankan juga melaksanakan upakara matres dan matuwun.
Kepada keturunan Ki Barakan yang berasal dari tanah liat diperingatkan oleh Mpu
Mahameru bahwa keturunan mereka diperkenankan membakar jasad dan menanamnya
kembali. Keesokan harinya mereka diperkenankan melakukan upakara ngirim yaitu
membuat symbohis orang—orangan di atas kuburannya dan apabila ada yang hendak
melanjutkan dengan upakara matres dan matuwun tidak dihalangi. Mpu Mahameru
menegaskan. apabila mereka hendak bercakap—cakap dengan Bhujangga Mpu Bendesa
Dryakah, mereka harus menyebut beliau Jro Gede sebagai panggilan penghormatannya.
Ditambahkannya setelah Mpu Mahameru memberikan penje1asan kepada Wong Baliaga,
untuk lebih sempurnanya keutamaan (kahotaman) Mpu Bandesa Dryakah, Mpu
Mahameru kembali menganugrahkan Sanghyang Aji Sehingga pikiran (ajnanan) Mpu
Dryakah makin terang Sejak saat itu nama beliau diganti menjadi MpuKamareka. Tidak
lama setelah menganugrahkan Sanghyang Aji serta memberikan petuah—petuah kepada
Wong Bali aga, Mpu Mahameru meninggalkan Tampurhyang melanjutkan perjalanan
menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir serta Hyang Kamimitan Bhatara Ghnijaya di
gunung Lempuyang. Selama di Bali dan bekerja sama dengan Bhatara Tri Purusa,
Tolangkir, Lempuyang dan UlunDanu yang dibantu oleh Wong Baliaga di bawah
pimpinan Mpu Kamareka, beliau membuat beberapa kahyangan-kahyangan lainnya. Hal
inilah yang menyebabkan keberangkatan Mpu Mahameru ke Jawadwipa mengalami
hambatan.
Diceriterakan sepeninggal Mpu Mahameru diBali, Mpu Kamareka kembali beryoga di
gunung Tampurhyang yaitu pada suatu tempat yang agak tinggi bernama Gwa Song.

Beliau melaksanakan yoganya dengan taat dan tekun sesuai dengan petunjuk yang
diterima dan Mpu Mahameru. Dalam melaksanakan tapa, beliau tidak makan maupun
minum kecuali memusatkan pikiran (ngranasika ) menghadap ketimur selama satu tahun
empat hari, menegakkan Sanghyang Ongkara Mantra di dalam hatinya. Berkat kekuatan
yoganya maka turunlah paduka Bhatara Brahma dari alam sunya menganugrahi Mpu
Kamareka. Bhatara Brahma bersabda “Hai kamu Mpu Kamareka sungguh amat kuat
yoga semadimu menghormat kepadaku. Sekarang trimalah anugrahku kepadamu tatwa
dyatmika, bentuk tak berbentuk. Begitu pula aku berpesan kepada mu bahwa apabila
nanti ada seorang perempuan cantik datang kepadamu mencari tirtha kamandalu, banu
pawitra, itulah anugrahku sebagai istrimu dan nanti apabila kamu melahirkan keturunan
dengannya berilah ia nama Mpu Ghnijaya Kayu Ireng. Demikianlah anugrah Bhatara
Brahma maka Mpu Kamareka menghaturkan sembah. Tidak hanya sampai di sini bahkan setelah beliau menerima anugrah Bhatara Brahma, Mpu Kamareka kembali beryoga memusatkan pikiran dihadapan api perasapan, Asapnya membubung ke atas, bau yang harum sampai ke sorga. Gemparlah seluruh widyadara dan widyadari para dewata serta para resi gana yang ada di sorga. Dari awang—awang
keluarlah Bhatara Sanghyang Acintya disertai hujan bunga dan bersabda : “Wahai
Kamareka walaupun kamu seorang Mpu dan keturunan sudra (kula wangsa) tetapi tidak
terhingga betapa teguh yoga Semadimu, Sekarang ada anugrahku kepadamu tirtha
kamandalu, banu pawitra. Terimalah tetapi janganlah ditekeburkan, simpanlah baik—baik
dalam hatimu.Tak lama kemudian lenyaplah Bhatara diiringi weda pujaan Mpu
Kamareka. Bertambah tambah kegembiraan Mpu Kamareka berkat anugrah Sanghyang
Aji yang telah sampaikan kepadanya.
Diceriterakan Dadari Kuning diperintahkan Bhatara Indra ke Tampurhyang untuk
menjadi jodoh Mpu Kamareka. Setibanya di Gwa Song Dadari Kuning dilihat oleh Mpu
Kamareka seraya disapanya, “Wahai wanita cantik yang tak ubahnya seperti Dewi
Gangga, dan manakah tuan putri sehingga sampai di sini di tengah hutan yang lebat serta
siapakah sebenarnya tuan putri ini ? Siapakah orang tua anda,kalau boleh ceriterakanlah
kepada hamba segera”. Menjawab Dadari Kuning, “ Hamba ini adalah seorang bidadari
dan Indraloka, membuang— buang langkah ke Bali hendak mencari tirtha pawitra. Tetapi
oleh karena hamba melihat sebuah sinar gemerlap, hamba memutuskan menuju sinar
tersebut. Itulah sebabnya hamba sampai ke tempat ini”. Mpu Kamareka menjawab :
“Baiklah hai wanita cantik yang tak ubahnya sebagai Dewi Ganggà. Apakáh maksud tuan
putri mencari tirtha pawitra ? ”. Wahai Sang Maha Mpu dahulu pada waktu hamba di
sorga loka hamba merasa khawatir terhadap para watek gandharwa yang selalu mendesak
dan memaksa hamba untuk menjadi istrinya. Itulah sebabnya hamba pergi dan sorga,
pergi tanpa tujuan untuk membersihkan diri dan akhirnya bertemulah hamba dengan Sang
Mahamuni di sini. Mpu Kamareka berkata : “Báiklah andaikata demikian,apabila tuan
putri tidak berkeberatan marilah kita bersama—sama menanggung kesengsaraan di hutan
belantara ini. Dadari Kuning menjawab : “Aduhai Sang Mahamuni teringatlah hamba
pada perintah Bhatara dahulu menyuruh hamba turun ke dunia, Mungkin benar inilah
jodoh hamba, Yah apabila Maha muni tidak berkeberatan tuluskanlah belas kasihan Mpu
ngku kepada hamba. Mpu Kamareka tertegun tidak bisa menjawab permohonan Dadari
Kuning oleh karena suka citanya, pilu bagaikan disayat hatinya,Akhirnya beliau pun
menjawab dengan gregetan : Aduhai buah hatiku tidak lain hambalah jodohmu, Teringat
hamba kepada sabda Bhatara báhwa bidadarilah tuanku, tidak sabar sudah kakandamu
menantikannya”. Dadari Kuning menunduk, dipangku, dibelai oleh Mpu Kamareka
dengan gregetan seraya berkata : “Aduhai idaman hatiku, terus kanlah kasih sayangmu
kepada hamba, bersama menderita di dalam hutan, Kakandamu tidak akan menentangmu
walau pun sampai tujuh kali menjelma kanda akan selalu menyertaimu”. Dadari Kuning
menjawab dengan berlinangkan air mata “Wahai Mpu-ngku janganlah demikian tergesa
—gesa Mpungku. Siapakah yang tidak akan bergembira apabila Mpungku berbahagia
bersama hamba. Tetapi permintaan hamba apabila perkawinan telah terlaksana Mpungku
tidak boleh menolak segala permintaàn hamba sebab demikianlah tata krama di sorga
loka. Menjawab Sang Mpu Kamareka “Baiklah kalau demikian,kanda akan mematuhi
permintaanmu, Janganlah ragu—ragu terhadap hamba. Kemudian merekapun kawin dan
bersama sama mengecap kebahagiaan orang bersuami istri. Entah berapa lama mereka bersuami istri,lahir dua orang anak laki perempuán yang amat cantik rupanya. Tidak terhingga betapa gembiranya Mpu Kamareka beserta istrinya. Kedua putra putri beliau diupacarai sesuai dengan upakara yang telah berlaku. Kedua putra putrinya diberi nama Ki Kayu Ireng dan Ni Kayu Ayu Cemeng. Ketika keduanya
telah dewasa Ki Kayu Ireng berkata pada ayahndanya “Wahai ayahnda oleh karena
anaknda sudah dewasa dan di gunung demikian dinginnya ka1au boleh hamba ingin
mencari seorang istri, ayah anda”. Sang Maha Mpu menjawab “Anakku Kayu Ireng
baiklah tetapi yang patut engkau jadikan istrimu tidak lain adikmu Ni Kayu Ayu Cemeng
sebab ialah jodohmu semenjak engkau berada di dalam perut. Hanya saja sekarang masih
menunggu hari yang baik untuk melangsungkan upakaranya. Akhirnya ketika tiba
waktunya Ki Kayu Ireng dikawinkan dengan Ni Kayu Ayu Cemeng serta setelab dibaptis
(apodgala) Ki Kayu Ireng berganti nama Mpu Ghnijaya Mahireng.
Selanjutnya pada .waktu Mpu Mahameru pergi ke Bali menghadap Bhatara Putrajaya di
Besakih dan Bhatara Ghnijaya di Lempuyang beliaupun tidak lupa singgah di
Tampurhyang menemui Mpu Kamareka. Beliau disambut Mpu Kamareka dan istrinya
sesuai dengan penyambutan para pendeta yang lazim dilaksanakan. Pada kesempatan ini
Mpu Kamareka diberi petuah agar tetap taat melaksanakan apa yang telah dianugrahkan
kepadanya. Ditegaskan bahwa sejak saat itu Mpu Kamareka rumawak ksatriya Brahmana
selama tiga keturunan saja dan setelah itu kembali menjadi kulawangsa (sudra). Para
pratisentana Mpu Kamareka dimanapun mereka berada agar tetap menjaga gagaduhan
yang telah dipaparkan.Sebaliknya apabila ada yang melanggar gagaduhan tersebut
mereka dikutuk agar menjadi wong tani cingkrang Pada waktu meninggalnya tidak boleh
upakaranya dilaksanakan oleh brahmana atau dibakar sebab mereka di anggap bukan
ketürunan Mpu Kamareka. Sedangkan bagi mereka yang taat melaksanakan gagaduhan di
atas disebut wong tani dan setelah tiga turunan menjadi Arya Pasek Kayuselem.
Demikian pula mereka yang sudah dianggap akhli menjalankan tata agama
diperkenankan mujanggain tetapi batasnya hanya tiga turunan dan Setelah itu surud
kembali. Kelak apabila ada keturunanmu hendak membakar jasad leluhur apabila belum
ada brahmana di Bali yang lahir dari keturunan Mpu Ghni jaya, keturunan beliau yang
disebut Jro Gede diperkenan kan menyelesaikan upakaranya. Sekarang anakku
diperkenankan melaksanakan penyelesaian (muputang) jasad orang—orang Baliaga
semua, Sebelum Mpu Mahameru kemba1i ke Jawadwipa beliau tidak lupa
menganugrahkan Sanghyang Aji kepada Mpu Kamareka. Sepeninggal Mpu Mahameru,
Mpu Kamareka memberi petuah kepada putranya sesuai dengan petuah yang beliau
terima dari Mpu Mahameru. Antara lain oleh karena telah banyaknya keturunan Mpu
Kamareka ditekankan agar pratisentanan beliau tetap menjaga gagaduhan dan harus
aguru sisya dengan keturunan Bhatara Ghnijaya yang disebut Sanak Pitu. Walaupun
mereka bersaudara, oleh karena asal penjelmaan mereka berbeda maka ditegaskannya
keturunan Mpu Kamareka harus menghormati dan menyembah keturunan Sanak Pitu.
Keturunan Mpu Kamareka tidak diperkenankan saling ambil mengambil (silih alap)
dengan ke— turunan Sanak Pitu. Tetapi apabila keturunan Sanak Pitu berkenan, mereka
boleh mengambil keturunan Mpu Kamareka, Keturunan Sanak Pitu tidak diperkenankan
menyembah keturunan Mpu Kamareka tetapi keturunan Mpu Kamareka harus
menyembah keturunan Sanak Pitu sebab méreka pernahsisya dengan Bhatara Ghnijaya.
Seandainya keturunan Mpu Kamareka meninggal jasadnya tidak boleh dibakar agar
asapnya tidak membubung lebih atas dan pura Panarajon, pura Ulun Danu, pura Tegeh
serta gunung Tampurhyang.. Bhatara tidak menginginkan kahyangañ beliau diliputi asap
mayat yang amat kotor (leteh). Untuk mengatasi hal ini mereka hanya diperkenankan
melaksanakan upakara penguburan ( mabya tanem ).
Disamping Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu Kamareka melahirkan pula tiga orang putra
yaitu Sang Made Clagi, Sang Noman Taruan dan Sang Ketut Kayuselem yang setelah
dibaptis (apodgala) masing—masing berganti nama menjadi Mpu Kaywan, Mpu Nyoman
Tarunyan dan Mpu Badengan. Seperti halnya Mpu Ghnijaya Mahireng ketiga adik beliau
inipun menjadi Bhujangga di Bali. Dari Goa Song mereka berpindah dan beryoga semadi
mencari tempat masing—masing. Mpu Kaywan berpindah dan beryoga di Panarajon,
Mpu Nyoman Tarunyan pindah ke gunung Tuluk biyu di Blong yang selanjutnya disebut desa Taruñyan.
Sédangkan Mpu Badngan menetap di Gwa Song (Songan)’beserta kakaknya Mpu
Ghnijaya Mahireng. Dan catur bhujangga ini melahirkan keturunan yang pada akhirnya
saling ambil mengambil (silih alap) diantara mereka.
Dunia berputar terus, usia Mpu Kamareka makin bertambah lanjut dan masanya kembali
ke alam sunya makin mendekat, Kini Mpu Kamareka sudah wreda, beliau menyadari
bahwa tidak lama beliau harus meninggalkan anak cucunya. Oleh karena itu beliau
memanggil seluruh anak cucunya untuk menyampaikan bahwa pada purnamaning
kartika. beliau akan meninggalkan mereka kembali kepada Sanghyang Acintya. Pada
kesempatan itu beliau berpesan bahwa apabila beliau telah meninggal agar anak cucunya
membuatkan kahyangan mengukuhkan (ngadegang ) Sanghyang Tri Purusa beserta
Hyang Bhatara lainnya dan khusus baginya agar dibuatkan Sebuah bebaturan sebagai
pelinggihnya. Kahyangan tersebut harus dipelaspas, anyapuh serta melaksanakan
piodalannya pada hari tileming kadasa. Seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem)
agar melaksanakan upacara di atas dengan hikmat dan tawakal. Mereka yang tidak mau
patuh kepada petunjuk beliau akan kena kutukan yaitu banyak kerja tetapi tidak
menemukan pahalanya. Segala tindak perbuatannya tidak akan menemukan
kebahagiaannya serta setiap akan muncul di akhiri dengan kegagalan (sugih gawe kurang
pangan salampah lakunya tan amangguhaken ayu, mentik—mentik punggel). Selanjutnya
apabila pada kahyangan tersebut tumbuh pohon kayu yang hitam warñanya, hal itu suatu
pertanda bahwa beliau (Mpu Kamareka) telah berbadan sakala niskala, telah beradá di
sisi Sanghyang Jagat Karana serta sejak saat itu berilah nama kahyangan tersebut pura
Kayuselem. Seandainya di sini (di Gwa Song) telah tumbuh pohon beringin hal itu suatu
pertanda bahwa Mpu Kamareka di alam sunya telah atirta gamaña. Dan sanalah beliau
mendoakan seluruh keturunannya (Warga Pasek Kayuselem) yang taat dan patuh
terhadap petuahnya tidak akan kurang sesuatu apapun. Hidup dalam kebahagiaan serta
kepada mereka yang telah ahli menjalankan weda mantra diperkenankan melaksanakan
upakara (manditanin) dan patut dihormati seluruh keluarganya.
Kini- tibalah purnamaning kartika, hari yang ditunggu—tunggu Mpu Kamareka bersiap
—siap menuju sunya taya. Pada waktu itu seluruh wong Baliaga, para tamu terutama para
warga Sanak Pitu diundang menghadiri dan menyaksikan perjalanan beliau ke alam
niskala. Putra— putra beliau sang atur pandita yaitu Mpu Ghnijaya Mahireng, Mpu
Panarajon, Mpu Tarunan serta Mpu Badng— an sibuk menyapa dan menyambut para
tamu yang datang menghadirinya. Dauh 5, rabu, madhura, byantara, dadi, mahulun
wurukung, guru mandala, mnga pada waktu itulah saatnya”Mpu Kamareka mengenakan
pakaian serba putih tanda kesuciannya. Seluruh persiapan upakara telah disiapkan yaitu
dupa, menyan, astanggi, tile gandapati serta seluruh alat—alat pemujaan lainnya berada
di tempatnya masing masing. Mpu Kamareka dengan tenang dan tabah dituntun para
putranya keluar menjumpai para tamu yang diundang nya. Kepada para tamu Mpu
Kamareka berkata dengan hormatnya : “Amatlah berbahagianya hati kami sebab Seluruh
maha pendeta telah datang ketempat ini,meluangkan waktu untuk memenuhi undangan
kami, menyaksikan dan memberikan doa restu sebagai pengantar kami menuju alam
sunyata. Kesemuanya itu benar-benar mengharukan dan menggembirakan hati saya sebab
segalanya menandakan bahwa para Mpu benar—henar tulus, ikhlas kepada hamba.
Menjawab para Mpu serta sisya beliau : “ Wahai adikku Sang Mpu, andaikata demikian
maafkanlah kami sebab seolah—olah lupa mematuhi kehendak Sang Mpu. Kini kami
akan selalu bersedia memenuhi dan mentaati kehendak adik Sang Mpu”, Mpu Kamareka
berkata kepada para sisyanya : Aduhai para sisyaku semua, dengarkanlah sekali lagi
petuahku apabila keturunanmu telah berkembang beritahukan pula kepadanya bagaimana
cara melaksanakan upakara berkenaan dengan upakara kematian (ngaben). Andaikata
diantara keturunanmu belum ada yang bisa mujanggain, salah seorang dan keturunan
Sanak Pitu yang telah menjadi Bhujangga diperkenankan melaksanakan upakara di atas
sebab demikianlah petuah yang telah aku terima dari Bhatara junjungan kita Bhatara Mpu
Mahameru. Ingatlab segala nasehat—nasehat ku’. Jikalau ada keturunanku yang tidak
mau mematuhi petuah serta nasehatku semoga kena kutukan, merosot, bodoh, banyak
kerja tetapi tidak menemukan pahalanya. Lagi pula pada waktu engkau melaksanakan
upakara kematian (ngaben) tetapi belum ada Bhujangga di Bali engkau diperkenankan
nuhur tirta pangentas di kahyangan saja. Tetapi sebelum engkau nuhur tirta,berdoa dan
mohonlah kehadapan Bhatara Jagat Karana serta Sanghyang Tri Purusa. Namun sebelum
melaksanakan hal di atas beritahukankanlah kepadaku dahulu,(anging manira astawa
rutnuhun) aku akan datang dari alam sunya membantumu memohonkan tirtha pangentas
dan pabersihan. Kemudian jika Bhatara Tri Purusa telah menganugrahkan tirtha
beritahukan pula kepadaku segera sebab dari sana aku bersama—sama Bhatara akan
menganugrahkan tirtha panglambus. Adapun cara memohonnya pergunakanlah sangku
tembaga, bahem. slaka, batil besi, dengan rerajahannya masing—masing. Tempat
Sanghyang tirta berupa 3 buah periuk (payuk anar) tempat tirta pabersihan”. Para sisya
mendengarkannya dengan tekun dan meresapkan petuah—petuah beliau ke dalam hati
seraya menghaturkan sembah kepada sang kawitan. Ketika telah selesai memberikan
petüah Mpu Kamareka beryoga dan dengan tenang moksa menuju alam sunyata.
Diceriterakan setelah Mpu Kamareka moksa Mpu Ghni jaya Mahireng beserta saudara—
saudara dan cucunya berkumpul membicarakan petunjuk yang telah disampaikan Sang
wuwus lepas yaitu agar segera melaksanakan upakara pitrayadnya Hari Rabu, mahadewa,
kresna paksa ping 15, sasih badrawada mereka mengundang para pandita yang disebut
Sanak Pitu agar datang ke Songan menyaksikan upakara pitrayadnya yang akan
diselenggarakannya. Upakara berlangsung dengan meriah, gambelan selonding ditabuh
sehingga menambah khikmatnya upakara tersebut. Mpu Ragarunting dan Mpu Kaywan
mamutru. Mpu Ketek ayoga tasik wedana, Mpu Witadharmma melaksanakan reg weda,
Mpu Panarajon ngastawa wedana. Amatlah meriahnya upakara di atas, suara genta
bergema bagaikan suara kumbang sedang mengisap bunga. Demikianlah suasana pitrayadnya yang dilaksanakan oleh Mpu Ghnijaya Mahireng dan setelah upacara berakhir para tamu pun kembali ke tempatnya masing—masing.
Oleh karena upacara pitrayadnya telah dilaksanakan selanjutnya Mpu Ghnijaya Mahireng
beserta anak cucunya membangun kahyangan sesuai dengan petuah sang wuwus lepas
yaitu :
1. Di Jeroan.

a. Sanggar agung pangastawan Bhatara Hyang Suci yang berabiseka Sanghyang Taya.
b. Gedong Tn Purusa tumpang t1u, pangastawan Bhatara çiwa, Sada Siwa, Parama Siwa
yang juga disebut Sanghyang Tiga Yadnya.

c. Gdong tumpang dua, pangastawan Bhatara Hyang Brahma dan Hyang Wisnu.
d. Kemulan rong telu, pangastawan Sanghyang Tn Purusa, Brahma Wisnu, Içwara rikala
atma tiga.
e. Bebaturan rong dua pangastawan Sanghyang Akasa bertemu dengan Sanghyang Ibu
Pertiwi disebut juga, Ibu, Bapak yang menimbulkan amerta siwaiba ( Dwipala).

2. Di Madya : Pesamuhan agung untuk Bhatara semua.

3. Di Jabayan.

a. Bebaturan rong dua, lanang wadon pangastawan Hyang Kawitan.

b. Bebaturan rong t1u, pangastawan.Sanghyarig tiga sakti.

c. Sedahan taksu apit lawang.

Seluruh pelinggih kahyangan di atas selesailah sudah dibangun serta upakara anyapuh,
pamelaspas, ngenteg linggih segera dilaksanakan. Tidak lama kemudian pohon asam
hitampun tumbuh di kahyangan tersebut sehingga sejak saat itu pura tersebut dinamakan
pura Kayu selem yang juga merupakan suatu pertanda Mpu Kamareka telah berbadan
sakala niskala.
Sesuai dengan petuah Hyang Kawitan oleh karena pelaksanaan upakara telah selesai,
sebagai pertanda kebenaran (kesujatian) kahyangan dibangunnya, didirikan pula sebuah
kahyangan disebut pura Jati yang menjadi junjungan penduduk pulau Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar